Bertahan untuk Tidak Kabur Dari Pondok Pesantren Ma'hadut Tholabah
Ketika sore tiba, kami duduk di teras bersama keluarga. Kebiasaan keluarga yang sering kami lakukan adalah menceritakan aktivitas masing-masing dari pagi hingga sore hari. Seingatku, usai penerimaan raport kenaikan kelas VI, sore itu kami berkumpul bersama Ayah, Ibu, dan adik-adiku. Kami pun bercengkrama bersama…
Ibu : “Selamat yah, Asya… Atas kenaikan kelasmu. Sekarang sudah kelas VI”
Ayah : “O iya… Selamat ya, Asya… Sebentar lagi SMP dong…?”
Aku : “Terima kasih, bu… Terima kasih, yah…”
Ibu : “Persiapkan satu tahun lagi untuk ke pesantren…”
Hmmm… langsung aku terdiam dan membayangkan pondok pesantren. Dalam bayanganku, betapa ribetnya kehidupan sehari-hari dengan kegiatan yang full di Pesantren. Antri mandi, antri makan, nyuci sendiri, makan yang ada kadarunya, belum lagi kegiatan mengaji yang terus menerus.
Ayah : “sudah hampir maghrib, kok melamun…?”
Aku tetap terdiam dan tak bisa menjawab tewaran ibu.
Hari-hari kami lewati hingga tibalah saat pengumuman kelulusan dari hasil Ujian Nasional. Pagi itu SDN 1 Nirwana ramai dengan kehadiran wali murid kelas VI dengan perasaan cemas wajah-wajah mereka terlihat.
Tak ada pengecualian, kami para siswa kelas VI begitu penasaran dengan hasil ujian yang telah kami ikuti dan lalui. Alhamdulillah… ternyata aku lulus bersama dengan semua teman satu angkatan. Suasana gembira dan haru menyelimuti kami dan saling memberi ucapan selamat.
Tibalah saatnya pendaftarn MTs… dan tepat seperti kata ibuku aku ditempatkan di pesantren. Meski bayangan tidak menyenangkan selalu ada dalam pikiranku, namun tak ada kemampuan untuk menolak ditempatkan di pondok pesantren.
Awal masuk sekolah, dugaanku benar… Bayangan yang selalu ada di otak menjelma nyata hingga ingin kabur rasanya. Aku hanya bisa memendam rasa dan tangislah yang menjadi pelampiasan.
Orang tuaku sepertinya kebal dengan air mataku. Mereka selalu bilang, “ini baru penjajalan, baru adaptasi. Lama-lama kamu nggak pengin pulang, lho…”. Aku hanya bisa berteriak dalam hati dengan perasaan kecewa dan pasrah.
Tiga bulan sudah saya menempati pondok pesantren, dan ternyata betul kata ayah dan ibuku. Bertemu dengan Pak Kyai dan Bu Nyai yang baik hati, teman-teman yang selalu care, membuatku enggan untuk beranjak dari pondok.
Terima kasih Ayah… Terima kasih Ibu… kalian sudah memberi yang terbaik untuk masa depan anakmu.
Jika kamu sakit, kamu boleh menangis
Jika kamu kalah, kamu boleh menangis
Namun, jangan pernah kamu menyerah
Karena menyerah lebih rendah dari kalah.
Kiriman Deehani Hilya Aulia Kelas 7 G, Sabtu 15 April 2017diedit oleh Sri Kuncoro SP
0 Response to "Bertahan untuk Tidak Kabur Dari Pondok Pesantren Ma'hadut Tholabah"
Post a Comment